LAHIRNYA BINTANG

Menggoreskan Sejarah

Mengingat pengalaman memamerkan lukisan di Galeri Milenium, Pameran Hikaru mengingatkan saya akan pameran BOB SICK. Pemuda yang gigih, kreatif dan mempunyai visi yang jauh kedepan. Pameran perdananya di Galeri Milenium tahun 2000 bertajuk “MEREBUT KEMENANGAN” telah menjadi catatan penting bagi BOB SICK, karena saat ini ia telah berhasil mewujudkan “mimpinya” untuk menjadi “maestro seni lukis” atau paling tidak menjadi pemain dan bukan penonton seni lukis.

Saat ini, 2018 setelah delapan belas tahun berlalu, saya kembali dihadapkan atau tepatnya dipertemukan dengan seorang “pelukis” yang selalu berkarya dan memberi catatan pada hampir setiap karyanya. Ini sebuah kebetulan yang betul-betul menggugah antusias saya untuk ikut serta terlibat dalam pameran tunggalnya yang juga merupakan pameran tunggal perdananya.

Ia adalah Hikaru, yang lengkapnya Hikaru Balint Madani. Seorang anak ( yang lahir 6 tahun setelah pameran Bob Sick) ia memiliki banyak kemampuan dalam kesenian. Ia piawai melukis, baik dalam bermusik khususnya bernyanyi serta rajin dan pandai menulis. Kemampuannya dalam berbagai disiplin kesenian ini nantinya pasti akan menjadi penopang yang kuat untuk menumbuhkembangkan karirnya dalam kesenian.

Hikaru adalah siswa Hadiprana Art Class yang cukup lama didampingi belajarnya oleh Bapak Gideon Sutrisno mulai usia 3,5 -11 th Pada awalnya beberapa tahun lalu Deon mendiskusikan karya Hikaru serta meminta pendapat bagaimana cara mendampinginya. Hal ini karena Deon melihat Hikaru sebagai seorang anak yang tidak sama cara belajarnya dengan siswa lain yang umumnya menerima apa yang disarankan dan diajarkan.

Hikaru adalah anak yang hidup di jaman dan budaya yang berbeda dengan jaman orang tua maupun gurunya. Perubahan jaman digital sekitar 15 tahun belakangan ini begitu cepat bergerak. Utamanya internet yang didalamnya berbagai sosial media yang menampilkan teks, gambar, video bahkan live event di berbagai penjuru dunia. Nyaris tak ada lagi informasi yang tak ada dalam dunia maya ini.

Akibatnya Hikaru menjadi “akrab” dengan berbagai tokoh seni rupa dunia, seperti Jackson Pollock, pelukis abstrak yang fenomenal dengan cara melukis yang diluar teori sebelumnya. Ia mencipratkan cat di kanvas yang sangat lebar yang diletakkan dilantai, Jackson Pollock tidak hanya melukiskan sesuatu yang baru, abstrak yang sangat ekspresionis namun juga melukis dengan gaya dan cara baru. Tak dapat disangkal jika masyarakat seni dunia akan selalu menempatkan nama Jackson Pollock diurutan atas deretan pelukis abstrak. Jackson Pollock ikon paling dikenal dalam abstrak.Tak heran jika Hikaru memajang poster berisi salah satu karya Pollock yang pernah dia lihat aslinya di Museum of Modern Art (MoMA), New York City, di kamar tidurnya.

Hikaru seringkali atau bahkan selalu melukis sesuai dengan apa yang telah ia rencanakan sendiri dari rumah, bahkan tak jarang ia tidak langsung melukis pada setiap kali masuk kelas belajar, namun berdiam diri dan berpikir dulu. Tak dapat ia diminta untuk menggambar objek yang tidak ia inginkan serta di waktu yang tidak sesuai dengan suasana hati dan pikirannya.Suatu saat ia melukis dengan gaya dan cara Jackson Pollock idolanya, tentu saja hal ini menjadi pertanyaan bagi yang melihatnya ( khususnya mereka yang tidak akrab dengan dunia seni rupa). Cara melukis yang tidak pernah atau jarang dilakukan dalam kelas lukis. Namun demkian karya Hikaru selalu selesai dengan baik. Saya selalu kagum setiap kali melihat karya terbarunya. Berbagai aktifitas pameran bersama telah Hikaru ikuti dan jika ada kompetisi ia sering menjadi bagian juaranya.

Selain Jackson Pollock, Hikaru juga mengagumi karya Aelita Andre pelukis yang sudah mulai dikenal sejak ia masih kanak kanak lahir tahun 2007 dan mulai pameran sejak umur 2 tahun. Karya Aelita yang sangat mengagumkan banyak orang termasuk Hikaru tentu disebabkan oleh lingkungan yang sangat memahami dan peduli dengan seni lukis, utamanya seni lukis anak. Melihat karya Aelita Andre kita bisa terkagum kagum namun jika kita melihat proses berkaryanya, barangkali tak banyak dari orang tua yang mengijinkan anaknya bermain main dengan cat dan kuas begitu bebasnya. Demikian juga orang tua Hikaru selalu mendukung Hikaru untuk mengembangkan jiwa seninya. Ketika sedang berwisata orang tua Hikaru selalu menyempatkan keluarga untuk mengunjungi museum seni rupa baik didalam maupun di luar negeri. Dalam salah satu kunjungan itulah Hikaru berkesempatan melihat langsung lukisan idolanya Jackson Pollock.

Hikaru menurut saya beruntung mendapatkan lingkungan yang dapat memahami proses berkarya seorang anak, termasuk dengan bangga dan sungguh peduli dan mendukung pameran karyanya. Selain lingkungan keluarga lingkungan belajarnya juga tentu punya andil yang sejalan dengan proses kreatif Hikaru.

Deon cukup berhasil menumbuhkan semangat Hikaru serta berani memberi banyak ruang buat Hikaru untuk berkarya, bereksplorasi dan berkreasi dengan cara-cara yang diluar pakem belajar melukis anak. Namun memang ini yang seharusnya diberikan kepada Hikaru, karena ia memiliki kemampuan serta kemauan yang beda dengan anak lainnya.

Ketika saya berkesempatan melihat sebagian besar karyanya, baik lukisan serta sketsa- sketsa diatas kertas A4, maupun di dalam buku sketsanya yang selalu dia bawa kemana-mana dan juga tulisan-tulisan yang membicarakan berbagai hal dan juga melihat videonya ketika ia bernyanyi. Saya merasa seperti melihat bintang yang akan bersinar kelak dikemudian hari untuk mewarnai seni rupa Indonesia.

Apa sebenarnya yang menarik dari karya Hikaru ? Secara visual karya Hikaru telah menunjukan bahwa Hikaru mampu mengatasi berbagai persoalan teknis melukis. Seperti mengatur komposisi baik untuk objek tunggal maupun multi objek. Hikaru mampu menyusunnya dalam komposisi yang baik dan menarik, hingga karyanya dapat mewujudkan atau menghasilkan pusat perhatian yang penting untuk mengkonstruksi cerita yang ingin ia sampaikan.

Demikian juga teknik mewarnainya, Hikaru juga bukan tipe yang melukis hafalan seperti tukang gambar, namun berani menempatkan berbagai macam warna sesuai kebutuhan perasaan dan pikirannya. Hingga ia berhasil membuat setiap karya memiliki kekuatan cerita masing masing . Warna yang Hikaru sematkan dalam karyanya tidak hanya berhasil menjadi unsur artistik namun juga menjadi kosa rupa untuk merangkai cerita yang ingin ia sampaikan. Kemampuan seperti ini menjadi salah satu yang membuat karya Hikaru selalu tampil sebagai sebuah cerita baru dengan karakter yang beda dengan karya sebelumnya.

Kemampuan lain dalam teknis berkarya, adalah kemampuan dan keberaniannya menggunakan banyak cara untuk melukis, baik dengan kuas, mencipratkan, menumpuk warna, menggunakanjarinya dan berbagai kemungkinan lain yang dengan ringan ia lakukan. Proses melukis seperti yang Hikaru kerjakan umumnya juga dilakukan oleh seniman dewasa yang kreatif. Mereka tidak lagi berpikir bahkan melupakan semua teori teknis, namun selalu menumbuhkan respon bawah sadar mereka untuk menyampaikan perasaan dan pikirannya. Karya yang dihasilkan dengan cara seperti ini (tanpa berpikir teknis) umumnya akan menjadi karya yang memiliki “rasa” memiliki “jiwa” yang tak mudah didiskripsikan dengan kata kata. Hal ini mengingatkan pada pernyataan Nashar yang merumuskan “Tiga Non” dalam mengerjakan lukisannya.

Demikian juga persoalan teknis membentuk objek dalam karyanya. Hikaru memiliki kemampuan yang sangat baik. Lihat saja karya sketsanya yang berisi berbagai objek gambar yang ia tampilkan tanpa ragu namun tetap dapat mencapai gambaran objek yang tepat dan artistik. Banyak perupa senior mengatakan kalau mau melihat atau menilai karya seseorang, paling mudah adalah dengan cara melihat sketsanya. Karena sketsa muncul/dihasilkan dengan cara spontan dan tanpa “rekayasa”. Dengan demikian ia akan segera menunjukan batas kemampuan pelukisnya. Hikaru banyak sekali mengerjakan sketsa, barangkali inilah yang membuat tangannya bagai mesin cetak ketika melukis dalam kanvas besar. Tidak ada keraguan, berani, lancar dan seperti bermain main.

Selain persoalan teknis karya Hikaru juga menunjukan berbagai tanda bahwa karyanya menunjukan pemikiran dan empathinya terhadap berbagai persoalan yang ada disekitarnya. Persoalan keluarga, persoalan lingkungan dan juga persoalan sosial dan lainnya. Catatan atau tulisan yang menyertai karyanya juga menunjukan begitu dalam pemahaman dan rasa Hikaru menyikapi berbagai persoalan itu. Pada poin inilah yang sangat membedakan Hikaru dengan pelukis anak umumnya. Hikaru seolah telah melompat dan berdiri di posisi yang seharusnya ia tempati beberapa tahun kemudian. Posisi yang yang umum ditempati oleh mereka yang telah jauh lebih dewasa.

Membicarakan kehidupan dan disandingkan dengan kematian misalnya. Atau menunjukkan harapannya terhadap persoalan politik di DKI. Mendiskusikan alam raya, dan banyak lagi persoalan yang ia unggah dalam karyanya.

Lihatlah, karya yang diberi judul “Survive ????” dengan catatan :

“Suatu hari ada seorang professor yang mengadakan peneltian di dasar laut dalam, dengan menggunakan kapal selam modern dan krunya adalah para mahasiswanya. Setelah mereka menyelam mereka tidak kembali lagi ke permukaan. Tim SAR menyatakan mereka hilang. Rupanya mereka dimakan oleh Raksasa Ikan.”

Lukisan ini hanya menggambarkan bagian kepala ikan dengan latar yang abstrak. Fokus pada kepala ikan seolah ia akan menelisik karakter ikan yang digambarkan dengan mata besar dan gigi yang menunjukan ketidakramahan sikapnya. Kalaupun kita membaca karya ini sebagai sebuah cerita, maka cerita ini menunjukan imajinasi yang tidak biasa bagi seorang anak, apa yang ia anggap “berhasil” dipertanyakan “Survive ???” dengan tiga tanda tanya adalah pernyataan pertanyaan yang membutuhkan jawaban berlapis dan butuh kedalaman pemikiran.

Dan jika kita membaca karya ini sebagai ungkapan maka dasar laut bisa jadi adalah tempat yang tak mudah dikenali karakternya, tempat yang dalam dan penuh misteri seperti misterinya kondisi masyarakat saat ini. Profesor yang ahli didampingi mahasiswa yang menggambarkan generasi masa depan bisa saja hilang di telan mahluk berbahaya, ganas dan jahat yang ada di dasar laut masyarakat kita. Tim penolong (SAR) pun tak berhasil menemukan, bahkan tanda atau sebagian jasadnya. Karena mereka semua hilang.

Tak pernah terbayangkan untuk dapat dipertemukan, saya dengan seorang anak yang mampu melukis dengan baik, menuliskan berbagai persoalan dengan penuh imajinasi dan rasa seperti Hikaru. Saya mengaguminya baik sebagai orang dewasa maupun sebagai perupa.

Karya lainnya adalah karya yang penuh pengharapan dari anak masa kini

“Andai Pak Ahok Masih Menjabat”

“Andai Pak Ahok masih menjabat, maka Kalijodo akan tetap bersih dan banyak warga Jakarta maupun luar Jakarta bisa datang dan bertamasya kesini , anak-anak bebas bermain tanpa rasa takut.

Andai Pak Ahok masih menjabat, aku akan memberikan lukisan ini secara langsung kepadanya di Balai Kota, sebagai tanda terima kasihku kepada Pak Ahok, karena 29 Juli 2016 lalu, dia telah menggendongku saat peresmian Taman Pandang Istana. Aku sedih dia harus dipenjara selama 2 tahun dan ditahan di rumah tahanan. Dan aku gagal memberikan lukisan ini secara langsung kepada Pak Ahok karena keadaan ini. Sehingga aku hanya bisa melihat Pak Ahok dari kejauhan saja. Aku hanya bisa berandai-andai dan mengirimkan doa kepadanya.

Aku berharap setelah Pak Ahok bebas, dia bisa menjadi guru. Guru yang mengajarkan kepada kita semua mengenai arti kejujuran dan kerja keras serta bekerja yang bersih (tidak korupsi)”.

Karya ini bukan sebuah kegiatan “politik” Hikaru adalah anak yang hanya membaca dan mengungkapkan perasaannya. Tak ada perlunya mengaitkan dengan permainan politik. Karya ini menunjukan rasa cinta yang dalam seorang anak terhadap pimpinan yang peduli kepadanya dan memiliki sikap baik dan jujur.Dan Hikaru pun masih tetap berharap akan bertemu langsung dengan beliau setelah beliau bebas untuk memberikan karyanya ini.

Mencermati karya Hikaru, pernah saya mencari apa lagi persoalan yang perlu diberi catatan untuk menandai karyanya. Beragamnya topik bahasan atau cerita yang ia sampaikan tentu memiliki resiko ia tidak fokus pada satu persoalan. Beragamnya teknis melukisnya juga memungkinkan pemirsa tak menemukan ciri fisik yang menandai karya Hikaru.

Namun demikian apakah setiap perupa harus menandai karyanya dengan cara seperti itu? Ternyata tidak juga.

Salah satu perupa yang demikian seingat saya adalah Ugo Untoro. Perupa yang “sekelompok” dengan Bob Sick ini juga melukis dan tidak menandai karyanya dengan ciri atau tanda yang mudah ditangkap oleh mata. Karyanya mengalir begitu saja dengan berbagai persoalan yang dikedepankan, Coba saja Googling dengan kata kunci “lukisan Ugo Untoro”. Segera terpampang beragam citra KARYA Ugo yang tak ditandai dengan kesamaan ciri fisiknya. Baik persamaan karakter warna, bentuk, teknik maupun isi atau bahasan karya. Karya Ugo Untoro tak terbatasi oleh hal seperti itu.

Demikian juga Hikaru, yang melukis dengan cara membaca kata hati dan pikirannya dengan berbagai situasi, lalu menyampaikan dan mengungkapkan dalam karyanya/ Maka lahirlah karya yang begitu beragam. Karya Hikaru menjadi semacam catatan rupa yang menggambarkan situasi batin dan pikrannya dalam menanggapi situasi yang “mengganggunya” atau mencatat imajinasinya yang “liar”.

Pameran tunggal perdana Hikaru di Mitra Hadiprana Kemang adalah peristiwa yang pantas dicatat baik oleh Hikaru sendiri maupun pecinta seni rupa. Kemang adalah salah satu pusat kesenian di Jakarta. Banyaknya galeri seni rupa di Kemang menunjukan bahwa untuk pameran di sini pasti membutuhkan banyak persyaratan baik dari kwalitas maupun kwantitas karya. Pameran perdana di pusat kesenian seperti ini juga bisa jadi menjadi acara “pembaptisan” untuk masuk dan terlibat lebih serius seseorang dalam dunia seni rupa.

Sejarah dirinya (Hikaru) telah mulai digoreskan dalam pameran seperti ini. Pameran ini tidak hanya menjadi seremoni yang sekali lalu dilupakan namun menjadi awal perjalanan panjang dalam berkarya seni rupa. Walaupun di Indonesia perhatian khusus dan serius terhadapkarya seni anak seperrti Hikaru belum maksimal. Pembinaan dan pelatihan melukis anak masih sering seadanya sebagai pengisi waktu luang. Iklim seperti inilah yang menjadi salah satu sebab pelukis baru mulai dikenal umumnya setelah lulus mahasiswa atau seumurnya. Hingga seorang yang karyanya baik seperti Bob Sick menjadi “amat terlambat” untuk dikenal dalam dunia seni rupa.

Semoga pameran Hikaru ini dapat menjadi bahan pemikiran untuk mengembangkan dan mengurus dunia seni rupa anak lebih serius dan berorientasi ke masa depan, agar Indonesia akan menghasilkan seniman seniman muda yang sudah handal dan dikenal di usia yang cukup dini, hingga lebih banyak baginya kesempatan untuk tumbuh dan berkembang.

Selamat berpameran untuk Hikaru,

semoga karyamu menjadi inspirasi bagi kita semua.

Yulianto Liestiono, Depok 11 Nov 2018


Yulianto Liestiono (Analis Seni Rupa)

Lahir di Magelang 17 April 1957, Lulus dengan nilai terbaik dari Institut Seni Indonesia ( ISI ) Jogja tahun 1985. Selain aktif melukis dan pameran sejak 1981. Mendirikan dan mengelola Galeri Seni Rupa Millenium Jakarta ( 1998 – 2004 ), Mengajar diberbagai kelas lukis, banyak membuat tulisan untuk karya anak.

LAHIRNYA BINTANG

Menggoreskan Sejarah

Mengingat pengalaman memamerkan lukisan di Galeri Milenium, Pameran Hikaru mengingatkan saya akan pameran BOB SICK. Pemuda yang gigih, kreatif dan mempunyai visi yang jauh kedepan. Pameran perdananya di Galeri Milenium tahun 2000 bertajuk “MEREBUT KEMENANGAN” telah menjadi catatan penting bagi BOB SICK, karena saat ini ia telah berhasil mewujudkan “mimpinya” untuk menjadi “maestro seni lukis” atau paling tidak menjadi pemain dan bukan penonton seni lukis.

Saat ini, 2018 setelah delapan belas tahun berlalu, saya kembali dihadapkan atau tepatnya dipertemukan dengan seorang “pelukis” yang selalu berkarya dan memberi catatan pada hampir setiap karyanya. Ini sebuah kebetulan yang betul-betul menggugah antusias saya untuk ikut serta terlibat dalam pameran tunggalnya yang juga merupakan pameran tunggal perdananya.

Ia adalah Hikaru, yang lengkapnya Hikaru Balint Madani. Seorang anak ( yang lahir 6 tahun setelah pameran Bob Sick) ia memiliki banyak kemampuan dalam kesenian. Ia piawai melukis, baik dalam bermusik khususnya bernyanyi serta rajin dan pandai menulis. Kemampuannya dalam berbagai disiplin kesenian ini nantinya pasti akan menjadi penopang yang kuat untuk menumbuhkembangkan karirnya dalam kesenian.

Hikaru adalah siswa Hadiprana Art Class yang cukup lama didampingi belajarnya oleh Bapak Gideon Sutrisno mulai usia 3,5 -11 th Pada awalnya beberapa tahun lalu Deon mendiskusikan karya Hikaru serta meminta pendapat bagaimana cara mendampinginya. Hal ini karena Deon melihat Hikaru sebagai seorang anak yang tidak sama cara belajarnya dengan siswa lain yang umumnya menerima apa yang disarankan dan diajarkan.

Hikaru adalah anak yang hidup di jaman dan budaya yang berbeda dengan jaman orang tua maupun gurunya. Perubahan jaman digital sekitar 15 tahun belakangan ini begitu cepat bergerak. Utamanya internet yang didalamnya berbagai sosial media yang menampilkan teks, gambar, video bahkan live event di berbagai penjuru dunia. Nyaris tak ada lagi informasi yang tak ada dalam dunia maya ini.

Akibatnya Hikaru menjadi “akrab” dengan berbagai tokoh seni rupa dunia, seperti Jackson Pollock, pelukis abstrak yang fenomenal dengan cara melukis yang diluar teori sebelumnya. Ia mencipratkan cat di kanvas yang sangat lebar yang diletakkan dilantai, Jackson Pollock tidak hanya melukiskan sesuatu yang baru, abstrak yang sangat ekspresionis namun juga melukis dengan gaya dan cara baru. Tak dapat disangkal jika masyarakat seni dunia akan selalu menempatkan nama Jackson Pollock diurutan atas deretan pelukis abstrak. Jackson Pollock ikon paling dikenal dalam abstrak.Tak heran jika Hikaru memajang poster berisi salah satu karya Pollock yang pernah dia lihat aslinya di Museum of Modern Art (MoMA), New York City, di kamar tidurnya.

Hikaru seringkali atau bahkan selalu melukis sesuai dengan apa yang telah ia rencanakan sendiri dari rumah, bahkan tak jarang ia tidak langsung melukis pada setiap kali masuk kelas belajar, namun berdiam diri dan berpikir dulu. Tak dapat ia diminta untuk menggambar objek yang tidak ia inginkan serta di waktu yang tidak sesuai dengan suasana hati dan pikirannya.Suatu saat ia melukis dengan gaya dan cara Jackson Pollock idolanya, tentu saja hal ini menjadi pertanyaan bagi yang melihatnya ( khususnya mereka yang tidak akrab dengan dunia seni rupa). Cara melukis yang tidak pernah atau jarang dilakukan dalam kelas lukis. Namun demkian karya Hikaru selalu selesai dengan baik. Saya selalu kagum setiap kali melihat karya terbarunya. Berbagai aktifitas pameran bersama telah Hikaru ikuti dan jika ada kompetisi ia sering menjadi bagian juaranya.

Selain Jackson Pollock, Hikaru juga mengagumi karya Aelita Andre pelukis yang sudah mulai dikenal sejak ia masih kanak kanak lahir tahun 2007 dan mulai pameran sejak umur 2 tahun. Karya Aelita yang sangat mengagumkan banyak orang termasuk Hikaru tentu disebabkan oleh lingkungan yang sangat memahami dan peduli dengan seni lukis, utamanya seni lukis anak. Melihat karya Aelita Andre kita bisa terkagum kagum namun jika kita melihat proses berkaryanya, barangkali tak banyak dari orang tua yang mengijinkan anaknya bermain main dengan cat dan kuas begitu bebasnya. Demikian juga orang tua Hikaru selalu mendukung Hikaru untuk mengembangkan jiwa seninya. Ketika sedang berwisata orang tua Hikaru selalu menyempatkan keluarga untuk mengunjungi museum seni rupa baik didalam maupun di luar negeri. Dalam salah satu kunjungan itulah Hikaru berkesempatan melihat langsung lukisan idolanya Jackson Pollock.

Hikaru menurut saya beruntung mendapatkan lingkungan yang dapat memahami proses berkarya seorang anak, termasuk dengan bangga dan sungguh peduli dan mendukung pameran karyanya. Selain lingkungan keluarga lingkungan belajarnya juga tentu punya andil yang sejalan dengan proses kreatif Hikaru.

Deon cukup berhasil menumbuhkan semangat Hikaru serta berani memberi banyak ruang buat Hikaru untuk berkarya, bereksplorasi dan berkreasi dengan cara-cara yang diluar pakem belajar melukis anak. Namun memang ini yang seharusnya diberikan kepada Hikaru, karena ia memiliki kemampuan serta kemauan yang beda dengan anak lainnya.

Ketika saya berkesempatan melihat sebagian besar karyanya, baik lukisan serta sketsa- sketsa diatas kertas A4, maupun di dalam buku sketsanya yang selalu dia bawa kemana-mana dan juga tulisan-tulisan yang membicarakan berbagai hal dan juga melihat videonya ketika ia bernyanyi. Saya merasa seperti melihat bintang yang akan bersinar kelak dikemudian hari untuk mewarnai seni rupa Indonesia.

Apa sebenarnya yang menarik dari karya Hikaru ? Secara visual karya Hikaru telah menunjukan bahwa Hikaru mampu mengatasi berbagai persoalan teknis melukis. Seperti mengatur komposisi baik untuk objek tunggal maupun multi objek. Hikaru mampu menyusunnya dalam komposisi yang baik dan menarik, hingga karyanya dapat mewujudkan atau menghasilkan pusat perhatian yang penting untuk mengkonstruksi cerita yang ingin ia sampaikan.

Demikian juga teknik mewarnainya, Hikaru juga bukan tipe yang melukis hafalan seperti tukang gambar, namun berani menempatkan berbagai macam warna sesuai kebutuhan perasaan dan pikirannya. Hingga ia berhasil membuat setiap karya memiliki kekuatan cerita masing masing . Warna yang Hikaru sematkan dalam karyanya tidak hanya berhasil menjadi unsur artistik namun juga menjadi kosa rupa untuk merangkai cerita yang ingin ia sampaikan. Kemampuan seperti ini menjadi salah satu yang membuat karya Hikaru selalu tampil sebagai sebuah cerita baru dengan karakter yang beda dengan karya sebelumnya.

Kemampuan lain dalam teknis berkarya, adalah kemampuan dan keberaniannya menggunakan banyak cara untuk melukis, baik dengan kuas, mencipratkan, menumpuk warna, menggunakanjarinya dan berbagai kemungkinan lain yang dengan ringan ia lakukan. Proses melukis seperti yang Hikaru kerjakan umumnya juga dilakukan oleh seniman dewasa yang kreatif. Mereka tidak lagi berpikir bahkan melupakan semua teori teknis, namun selalu menumbuhkan respon bawah sadar mereka untuk menyampaikan perasaan dan pikirannya. Karya yang dihasilkan dengan cara seperti ini (tanpa berpikir teknis) umumnya akan menjadi karya yang memiliki “rasa” memiliki “jiwa” yang tak mudah didiskripsikan dengan kata kata. Hal ini mengingatkan pada pernyataan Nashar yang merumuskan “Tiga Non” dalam mengerjakan lukisannya.

Demikian juga persoalan teknis membentuk objek dalam karyanya. Hikaru memiliki kemampuan yang sangat baik. Lihat saja karya sketsanya yang berisi berbagai objek gambar yang ia tampilkan tanpa ragu namun tetap dapat mencapai gambaran objek yang tepat dan artistik. Banyak perupa senior mengatakan kalau mau melihat atau menilai karya seseorang, paling mudah adalah dengan cara melihat sketsanya. Karena sketsa muncul/dihasilkan dengan cara spontan dan tanpa “rekayasa”. Dengan demikian ia akan segera menunjukan batas kemampuan pelukisnya. Hikaru banyak sekali mengerjakan sketsa, barangkali inilah yang membuat tangannya bagai mesin cetak ketika melukis dalam kanvas besar. Tidak ada keraguan, berani, lancar dan seperti bermain main.

Selain persoalan teknis karya Hikaru juga menunjukan berbagai tanda bahwa karyanya menunjukan pemikiran dan empathinya terhadap berbagai persoalan yang ada disekitarnya. Persoalan keluarga, persoalan lingkungan dan juga persoalan sosial dan lainnya. Catatan atau tulisan yang menyertai karyanya juga menunjukan begitu dalam pemahaman dan rasa Hikaru menyikapi berbagai persoalan itu. Pada poin inilah yang sangat membedakan Hikaru dengan pelukis anak umumnya. Hikaru seolah telah melompat dan berdiri di posisi yang seharusnya ia tempati beberapa tahun kemudian. Posisi yang yang umum ditempati oleh mereka yang telah jauh lebih dewasa.

Membicarakan kehidupan dan disandingkan dengan kematian misalnya. Atau menunjukkan harapannya terhadap persoalan politik di DKI. Mendiskusikan alam raya, dan banyak lagi persoalan yang ia unggah dalam karyanya.

Lihatlah, karya yang diberi judul “Survive ????” dengan catatan :

“Suatu hari ada seorang professor yang mengadakan peneltian di dasar laut dalam, dengan menggunakan kapal selam modern dan krunya adalah para mahasiswanya. Setelah mereka menyelam mereka tidak kembali lagi ke permukaan. Tim SAR menyatakan mereka hilang. Rupanya mereka dimakan oleh Raksasa Ikan.”

Lukisan ini hanya menggambarkan bagian kepala ikan dengan latar yang abstrak. Fokus pada kepala ikan seolah ia akan menelisik karakter ikan yang digambarkan dengan mata besar dan gigi yang menunjukan ketidakramahan sikapnya. Kalaupun kita membaca karya ini sebagai sebuah cerita, maka cerita ini menunjukan imajinasi yang tidak biasa bagi seorang anak, apa yang ia anggap “berhasil” dipertanyakan “Survive ???” dengan tiga tanda tanya adalah pernyataan pertanyaan yang membutuhkan jawaban berlapis dan butuh kedalaman pemikiran.

Dan jika kita membaca karya ini sebagai ungkapan maka dasar laut bisa jadi adalah tempat yang tak mudah dikenali karakternya, tempat yang dalam dan penuh misteri seperti misterinya kondisi masyarakat saat ini. Profesor yang ahli didampingi mahasiswa yang menggambarkan generasi masa depan bisa saja hilang di telan mahluk berbahaya, ganas dan jahat yang ada di dasar laut masyarakat kita. Tim penolong (SAR) pun tak berhasil menemukan, bahkan tanda atau sebagian jasadnya. Karena mereka semua hilang.

Tak pernah terbayangkan untuk dapat dipertemukan, saya dengan seorang anak yang mampu melukis dengan baik, menuliskan berbagai persoalan dengan penuh imajinasi dan rasa seperti Hikaru. Saya mengaguminya baik sebagai orang dewasa maupun sebagai perupa.

Karya lainnya adalah karya yang penuh pengharapan dari anak masa kini

“Andai Pak Ahok Masih Menjabat”

“Andai Pak Ahok masih menjabat, maka Kalijodo akan tetap bersih dan banyak warga Jakarta maupun luar Jakarta bisa datang dan bertamasya kesini , anak-anak bebas bermain tanpa rasa takut.

Andai Pak Ahok masih menjabat, aku akan memberikan lukisan ini secara langsung kepadanya di Balai Kota, sebagai tanda terima kasihku kepada Pak Ahok, karena 29 Juli 2016 lalu, dia telah menggendongku saat peresmian Taman Pandang Istana. Aku sedih dia harus dipenjara selama 2 tahun dan ditahan di rumah tahanan. Dan aku gagal memberikan lukisan ini secara langsung kepada Pak Ahok karena keadaan ini. Sehingga aku hanya bisa melihat Pak Ahok dari kejauhan saja. Aku hanya bisa berandai-andai dan mengirimkan doa kepadanya.

Aku berharap setelah Pak Ahok bebas, dia bisa menjadi guru. Guru yang mengajarkan kepada kita semua mengenai arti kejujuran dan kerja keras serta bekerja yang bersih (tidak korupsi)”.

Karya ini bukan sebuah kegiatan “politik” Hikaru adalah anak yang hanya membaca dan mengungkapkan perasaannya. Tak ada perlunya mengaitkan dengan permainan politik. Karya ini menunjukan rasa cinta yang dalam seorang anak terhadap pimpinan yang peduli kepadanya dan memiliki sikap baik dan jujur.Dan Hikaru pun masih tetap berharap akan bertemu langsung dengan beliau setelah beliau bebas untuk memberikan karyanya ini.

Mencermati karya Hikaru, pernah saya mencari apa lagi persoalan yang perlu diberi catatan untuk menandai karyanya. Beragamnya topik bahasan atau cerita yang ia sampaikan tentu memiliki resiko ia tidak fokus pada satu persoalan. Beragamnya teknis melukisnya juga memungkinkan pemirsa tak menemukan ciri fisik yang menandai karya Hikaru.

Namun demikian apakah setiap perupa harus menandai karyanya dengan cara seperti itu? Ternyata tidak juga.

Salah satu perupa yang demikian seingat saya adalah Ugo Untoro. Perupa yang “sekelompok” dengan Bob Sick ini juga melukis dan tidak menandai karyanya dengan ciri atau tanda yang mudah ditangkap oleh mata. Karyanya mengalir begitu saja dengan berbagai persoalan yang dikedepankan, Coba saja Googling dengan kata kunci “lukisan Ugo Untoro”. Segera terpampang beragam citra KARYA Ugo yang tak ditandai dengan kesamaan ciri fisiknya. Baik persamaan karakter warna, bentuk, teknik maupun isi atau bahasan karya. Karya Ugo Untoro tak terbatasi oleh hal seperti itu.

Demikian juga Hikaru, yang melukis dengan cara membaca kata hati dan pikirannya dengan berbagai situasi, lalu menyampaikan dan mengungkapkan dalam karyanya/ Maka lahirlah karya yang begitu beragam. Karya Hikaru menjadi semacam catatan rupa yang menggambarkan situasi batin dan pikrannya dalam menanggapi situasi yang “mengganggunya” atau mencatat imajinasinya yang “liar”.

Pameran tunggal perdana Hikaru di Mitra Hadiprana Kemang adalah peristiwa yang pantas dicatat baik oleh Hikaru sendiri maupun pecinta seni rupa. Kemang adalah salah satu pusat kesenian di Jakarta. Banyaknya galeri seni rupa di Kemang menunjukan bahwa untuk pameran di sini pasti membutuhkan banyak persyaratan baik dari kwalitas maupun kwantitas karya. Pameran perdana di pusat kesenian seperti ini juga bisa jadi menjadi acara “pembaptisan” untuk masuk dan terlibat lebih serius seseorang dalam dunia seni rupa.

Sejarah dirinya (Hikaru) telah mulai digoreskan dalam pameran seperti ini. Pameran ini tidak hanya menjadi seremoni yang sekali lalu dilupakan namun menjadi awal perjalanan panjang dalam berkarya seni rupa. Walaupun di Indonesia perhatian khusus dan serius terhadapkarya seni anak seperrti Hikaru belum maksimal. Pembinaan dan pelatihan melukis anak masih sering seadanya sebagai pengisi waktu luang. Iklim seperti inilah yang menjadi salah satu sebab pelukis baru mulai dikenal umumnya setelah lulus mahasiswa atau seumurnya. Hingga seorang yang karyanya baik seperti Bob Sick menjadi “amat terlambat” untuk dikenal dalam dunia seni rupa.

Semoga pameran Hikaru ini dapat menjadi bahan pemikiran untuk mengembangkan dan mengurus dunia seni rupa anak lebih serius dan berorientasi ke masa depan, agar Indonesia akan menghasilkan seniman seniman muda yang sudah handal dan dikenal di usia yang cukup dini, hingga lebih banyak baginya kesempatan untuk tumbuh dan berkembang.

Selamat berpameran untuk Hikaru,

semoga karyamu menjadi inspirasi bagi kita semua.

Yulianto Liestiono, Depok 11 Nov 2018


Yulianto Liestiono (Analis Seni Rupa)

Lahir di Magelang 17 April 1957, Lulus dengan nilai terbaik dari Institut Seni Indonesia ( ISI ) Jogja tahun 1985. Selain aktif melukis dan pameran sejak 1981. Mendirikan dan mengelola Galeri Seni Rupa Millenium Jakarta ( 1998 – 2004 ), Mengajar diberbagai kelas lukis, banyak membuat tulisan untuk karya anak.